Tuesday, June 13, 2006

Jogja Kembali “Bangkit”

Jogja Kembali “Bangkit”

27 mei 2006 lalu tak mungkin dilupakan, gempa bumi 5,9 SR (6,3 SR versi USGS) mengguncang Jogja. Ribuan rumah luluh lantak di berbagai penjuru Jogja. Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul,Sleman, Kota Jogja tak luput. Tak hanya itu, ribuan manusia kehilangan orang tua, anak, saudara famili teman dan sahabat. Ribuan orang hanyut dalam segala kesedihan yang mendalam.

6 Mei 2006, beberapa hari setelah guncangan pertama gempa mengguncang gempa, saya berkesempatan mengunjungi Jogja. Di surat jalan yang saya terima dari kampus tercinta tertulis penelitian geologi bencana. Saya bersama beberapa teman dan dosen berkesempatan meneliti dari aspek geologi (karena itu yang saat ini saya bisa). Senin dinihari saya menginjakkan kaki di jogja. Senin pagi itu juga kami mulai ke lapangan, kami dibagi menjadi dua tim, satu tim lainnya mengelilingi daerah prambanan dan klaten. saya menuju daerah seputaran kali Opak. Dalam bahasa geologi kami cari jejak ‘sesar’ , atau lebih dikenal dengan patahan ( karena itu yang sering muncul di koran-koran). Kami menggunakan mobil menuju beberapa daerah yang sekiranya terdapat jejak patahan setelah terjadi gempa 27 Mei. Sesekali kami dikejutkan dengan gempa-gempa susulan yang terkadang membuat orang-orang yang berada dalam gedung berhamburan keluar.

Dua hari kami mengelilingi derah Bantul dan sekitarnya. Dalam dua hari itu saya mendapati banyak para korban gempa yang sudah kembali memunguti reruntuhan dan puing-puing rumahnya. Mereka kembali melanjutkan hidup mereka dan tidak terlalu dalam menyelami kesedihan yang sebenarnya teramat sangat. Beberapa malah telah kembalu merumput untuk sapi-sapi mereka. Memang tidak semua orang dapat kembali hidup normal, ada beberapa yang terpaksa kehilangan pekerjaannya karena berbagai hal, mulai dari fisik yang tidak memungkinkan hingga tempat kerja yang roboh akibat diguncang gempa. Mereka sementara harus berteduh dalam dinginnya tenda-tenda yang ketika saya tidur untuk beberapa jam saja harus bersin-bersin dan pilek karena kedinginan. Saya tak bisa membayangkan kalau saya harus mengalami seperti yang mereka alami.

Tapi itu semua tak membuat mereka (masyarakat jogja) terperosok dalam kesedihan yang berlarut. Mereka kembali dengan semangat juang yang tinggi untuk kembali melanjutkan hidup dan menerima apa adanya apa yang telah terjadi. Dalam bahasa jawa “nrimo”. Jadi teringat tulisan “saatnya berterimakasih pada jogja”, yang menyatakan bahwa jogja adalah kota perjuangan. Kali ini Jogja kembali dihadapkan dengan perjuangan yang lebih keras. Saya yakin Jogja yang telah terbiasa ‘prihatin’ dapat kembali bangkit dari hal ini dengan segera. Apalagi setelah melihat sendiri perjuangan mereka. Mungkin 3 bulan masa darurat yang ditetapkan oleh pemerintah terlalu lama bagi Jogja yang biasa dengan segala bentuk perjuangan untuk kembali bersemangat.

Saya salut tak hanya warga yang secara langsung terkena imbas goncangan gempa, tapi bagi warga yang rumahnya aman-aman saja digoyang 6,3 SR (5,9 versi BMG) yang dengan sukarela dan segenap kekuatan membantu dalam berbagai hal, mulai membersihkan puing-puing hingga merobohkan rumah yang retak dan condong yang mungkin jika terkena gempa susulan sedikit lebih besar akan segera roboh. Tanpa imbalan mereka berbondong-bondong dengan menggunakan truk ( baik sewaan, maupun truk aparat ). Pemandangan truk ‘bersliweran’ yang penuh dengan para sukarelawan tiap pagi dan sore adalah umum di jogja hingga saya meninggalkan jogja pada 11 Mei.

Suatu hari ketika saya naik bus menuju ke srandakan, dari bantul, saya bersebelahan dengan warga yang rumahnya menjadi saksi keganasan 6,3 atau 5,9 SR ( hingga kini belum jelas). Ibu-ibu setengah baya, rumah di Pandak, beberapa kilometer dari Bantul kea rah baratdaya. Rumah luluh lantak, keluarga beberapa luka meski tidak ada yang tewas. Dalam perjalanan yang tidak lama, Ia bercerita betapa tidak berdayanya Ia jika tanpa bantuan teman,saudara,tetangga yang dengan sukarela sambatan membereskan puing-puing rumahnya. Dalam keadaan keuangan yang mepet, Ia menyempatkan untuk menyiapkan sekedar air minum dan makanan kecil. Ia juga bertutur kalau para sukarelawan sebetulnya telah membawa bekal masing-masing dari rumah. Namun sekedar untuk ucapan terimakasih tetap saja Ia menyiapkan makanan kecil untuk mereka yang telah membantu. Semangat kekeluargaan dan gotong-royong ternyata masih melekat pada jiwa masyarakat jogja. Tak kenal tua muda, banyak anak muda yang pada saat normal hanya nongkrong di cakruk –istilah untuk semacam pos- ikut berduyun-duyun membantu saudara-saudaranya yang terkena musibah.

Yang saya tidak habis pikir adalah, dalam kondisi seperti ini ada yang tega mencuri dan menjarah. Saat saya meninggalkan jogja, isu maling masih terus beredar, hingga tiap malam desa-desa menjalankan ronda dan menutup akses jalan utam menuju desa mereka. Tidak tanggung-tanggung “para” pencuri ini berkelompok dan terorganisir dalam melakukan aksinya. Mereka di antar dengan truk atau mobil dalam melakukan aksinya. Yang pasti, saya yakin mereka yang sebiadab itu bukanlah warga jogja.

Salut buat jogja yang kembali bersemangat!!